Minggu, 21 Juni 2009

Imam Syafi'i


Imam Syafi'i Sang Pembela Sunnah dan Hadits Nabi

Nama dan Nasab
Beliau bernama Muhammad dengan kunyah Abu Abdillah. Nasab beliau secara
lengkap adalah Muhammad bin Idris bin al­'Abbas bin 'Utsman bin Syafi' bin as­Saib bin
'Ubayd bin 'Abdu Zayd bin Hasyim bin al­Muththalib bin 'Abdu Manaf bin Qushay.
Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri 'Abdu Manaf bin Qushay.
Dengan begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung
keturunan paman­jauh beliau, yaitu Hasyim bin al­Muththalib.
Bapak beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah
di jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di
Madinah lalu berpindah dan menetap di 'Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina)
dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi', kakek dari kakek
beliau, ­yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi'i)­ menurut sebagian
ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As­Saib, bapak Syafi', sendiri
termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik dengan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraisy dalam
Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan
masuk Islam.
Para ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi'i
berasal dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi
kesaksian mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan
nasab Nabi, kemudian mereka membantah pendapat­pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi'i bukanlah asli
keturunan Quraisy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala' saja. Adapun ibu
beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan
dia masih keturunan al­Hasan bin 'Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain menyebutkan
seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kunyah Ummu Habibah. Imam an­
Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi'i adalah seorang wanita yang tekun
beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan
agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al­Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah
dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat
yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota
Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya
di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat
lain yang disebut­sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat­-riwayat tersebut dapat
digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri
Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu
berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa
ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam Syafi 'i dan ibunya tinggal di dekat Syi'bu al­Khaif. Di sana, sang
ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat kecerdasan
dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi'i bercerita, "Di al­Kuttab (sekolah tempat
menghafal al­Qur'an), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid­
muridnya ayat al­Qur'an, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal
semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, 'Tidak halal bagiku mengambil upah
sedikitpun darimu.'" Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya
sebagai penggantinya (mengawasi murid­murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah,
belum lagi menginjak usia balig, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung menghafal al­Qur'an di al­Kuttab, beliau kemudian beralih ke
Masjidil Haram untuk menghadiri majelis­majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan
pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai
menulis. Sampai­sampai tempayan­tempayan milik ibunya penuh dengan tulang­tulang,
pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits­hadits Nabi. Dan itu
terjadi pada saat beliau belum lagi berusia balig. Sampai dikatakan bahwa beliau telah
menghafal al­Qur'an pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al­
Muwaththa' karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung
dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair­syairnya. Beliau
memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair­syair mereka. Hasilnya,
sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal
seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang­orang Arab, suatu hal yang
kemudian banyak dipuji oleh ahli­ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya
dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya.
Setelah mendapatkan nasihat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az­Zanji ­
mufti kota Mekkah­, dan al­Husain bin 'Ali bin Yazid agar mendalami ilmu fiqih, maka
beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau melakukan
pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya dengan menimbanya dari ulama­ulama kotanya, Mekkah,
seperti Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al­'Athar, Muhammad bin Ali bin
Syafi' ­yang masih terhitung paman jauhnya­, Sufyan bin 'Uyainah ­ahli hadits Mekkah­,
Abdurrahman bin Abu Bakar al­Maliki, Sa'id bin Salim, Fudhail bin 'Iyadh, dan lain­lain.
Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa' Imam
Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang
kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al­
Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti
mengena sasaran.Artikel www.muslim.or.id
Artikel boleh disebarluaskan dengan syarat menyertakan sumbernya 3
Setelah mendapat izin dari para syaikh­nya untuk berfatwa, timbul keinginannya
untuk mengembara ke Madinah, Dar as­Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para
ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al­Muwaththa'. Maka
berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau
membaca al­Muwaththa' yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat
Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi
mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam
Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu
Yahya, 'Abdul 'Aziz ad­Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma'il bin Ja'far, Ibrahim bin Sa'd
dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman.
Di sana beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al­Qadhi,
serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan ­satu hal
yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau­. Di Yaman, nama
beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan,
dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu, orang­orang yang
tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun
ar­Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang­
orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam sejarah, Imam Syafi'i hidup pada masa­masa awal pemerintahan
Bani 'Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu,
setiap khalifah dari Bani 'Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang­
orang dari kalangan 'Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap sangat kejam
dalam memadamkan pemberontakan orang­orang 'Alawiyah yang sebenarnya masih
saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu menggoreskan rasa sedih yang
mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada diri Imam Syafi'i secara khusus.
Dia melihat orang­orang dari Ahlu Bait Nabi menghadapi musibah yang mengenaskan
dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan
secara terang­terangan rasa cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikit pun, suatu
sikap yang saat itu akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasysyu', padahal
sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu' model orang­orang syi'ah. Bahkan Imam
Syafi'i menolak keras sikap tasysyu' model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan
keimaman Abu Bakar, Umar, serta 'Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta
meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada Ahlu Bait
adalah kecintaan yang didasari oleh perintah­perintah yang terdapat dalam al­Qur'an
maupun hadits­hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas
membuatnya dianggap oleh orang­orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan
pemberontakan, membuatnya ditangkap, lalu di gelandang ke Baghdad dalam keadaan
dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang­orang 'Alawiyah. Beliau bersama
orang­orang 'Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar­Rasyid. Khalifah
menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa
mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka.
Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi'i berusaha memberikan penjelasan kepada
Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin
al­Hasan ­ahli fiqih Irak­, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran
apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar­Rasyid
dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan 'Alawiyah dan mendapatkan
kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti
dan mendalami madzhab Ahlu Ra'yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah
kepada Muhammad bin al­Hassan. Selain itu, kepada Isma 'il bin 'Ulayyah dan Abdul
Wahhab ats­Tsaqafiy dan lain­lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau
kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di
tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke
Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan,
bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas.
Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi
mengirim surat kepada Imam Syafi'i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi
khabar­khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat­ayat al­Qur'an
dan lain­lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar­Risalah.
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan
perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash­habul
Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di
sana telah menyebut­nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash­habul
Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh
Ahlu Ra'yi. Sampai­sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid
Jami ' al­Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra 'yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba,
yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke
Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para
penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada
setahun di Mekkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja
di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al­Makmun telah dikuasai oleh
para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan­pembahasan tentang ilmu kalam.
Sementara Imam Syafi'i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau tahu
bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as­salaf ash­shaleh ­yang selama ini
dipegangnya­ di dalam memahami masalah­masalah syariat. Hal itu karena orang­orang
ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah,
menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga
memiliki keterbatasan­keterbatasan. Beliau tahu betul kebencian meraka kepada ulama
ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab mereka.
Dan begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan
banyak musibah kepada para ulama ahlul hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan
memaksa mereka menerima paham al­Qur'an itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama
yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin
Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi'i kemudian memutuskan pergi ke Mesir.
Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya
kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan masyarakatnya. disana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi
kitabnya ar­Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai seorang yang mengikuti manhaj Ash­habul Hadits, beliau dalam menetapkan
suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan al­Qur'an dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil­dalil dari
keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Beliau berkata, "Jika kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka
ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang lain." Karena
komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as­
Sunnah wa al­Hadits.
Terdapat banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam,
mengingat perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, "Setiap orang yang
berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari al­Qur'an dan sunnah, maka ucapannya
adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka."
Imam Ahmad berkata, "Bagi Syafi'i jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits,
maka dia akan menyampaikannya. Dan perilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik
sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih." Imam Syafi 'i berkata,
"Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan ahlinya." Al­Mazani berkata,
"Merupakan madzhab Imam Syafi'i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau
melarang kami sibuk dalam ilmu kalam." Ketidaksukaan beliau sampai pada tingkat
memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah dipukul dengan pelepah
kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring berkeliling di antara kabilah­
kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah hukuman bagi orang yang
meninggalkan al­Qur'an dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit
bawasir yang selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah
hingga akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat
Isya' hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah
memberikan kepadanya rahmat­Nya yang luas.
Ar­Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi'i, sesudah
wafatnya. Dia berkata kepada beliau, "Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai
Abu Abdillah?" Beliau menjawab, "Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas
dan menaburkan pada diriku mutiara­mutiara yang halus."
Karangan­Karangannya
Sekalipun beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan
perjalanan jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis
banyak kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut
al­Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain­lain. Yaqut al­Hamawi
mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul­judulnya disebutkan oleh Ibnu an­
Nadim dalam al­Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab­kitabnya adalah al­Umm,
yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar­Risalah al­Jadidah (yang telah direvisinya)
mengenai al­Qur'an dan as­Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber:
1. Al­Umm, bagian muqoddimah hal. 3­33
2. Siyar A'lam an­Nubala'
3. Manhaj Aqidah Imam asy­Syafi', terjemah kitab Manhaj al­Imam Asy­Syafi 'i fi Itsbat al­
'Aqidah karya DR. Muhammad AW al­Aql terbitan Pustaka Imam Asy­Syafi'i,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar